Ada dialog yang menarik dalam satu scene film Hollywood ketika seorang polisi memergoki penjahat yang memiiki percetakan uang palsu. Sang Polisi menganggap penjahat itu sedang menjalankan keserakahan, namun penjahat tersebut berpendapat bahwa yang sedang dikerjakannya adalah menciptakan kemakmuran. Keserakahan dan kemakmuran nampaknya istilah yang berbeda sangat tipis saja jika kita tidak tega atau tidak bersedia menyebutnya sama. Keserakahan adalah istilah dalam konteks sosial, sedangkakan kemakmuran adalah dalam konteks individu atau personal. Obyek dari dua istilah tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu mengeksploitasi dan mengkonsumsi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan manusia yang tidak pernah habis-habisnya. Mengejar keserakahan atau kemakmuran ini sebenarnya fine-fine saja kalau sumber daya ini tersedia dengan berlimpah sepanjang masa. Memuaskan keserakahan dan kemakmuran menjadi permasalahan dan isyu yang besar ketika semuanya akan habis dan tidak terbarukan (non renewable). Padahal dunia ini adalah pinjaman yang harus dikembalikan secara utuh kepada anak cucu atau generasi mendatang, bukan warisan dari nenek moyang atau generasi terdahulu. Generasi yang akan datang adalah stakeholder yang harus diperhatikan kepentingannya ketika kita semua mengambil keputusan pada saat ini. Oleh karena itu, sangatlah bodoh jika ada orang tua atau generasi terdahulu yang tidak mau merencanakan masa datang. Tidak ada justifikasi yang elegan buat yang menentang keluarga berencana. Sangatlah bodoh jika bersandar pada pandangan bahwa semua rejeki anak cucu kita sudah diatur oleh Allah. Ada kontribusi dari orang tua dan generasi terdahulu terhadap kesejahteraan anak cucunya. Jika orang tua terdahulunya bertindak bodoh dan kurang pengetahuan, maka kehancuran akan menimpa generasi berikutnya. Jika generasi terdahulunya serakah dan mengeksploitasi bumi tanpa perhitungan, maka kehancuran akan menimpa generasi berikutnya.
Yang bisa kita lihat dan rasakan sekarang ini, atas nama kemakmuran, manusia dapat dengan ringan membabat habis pohon di hutan, menguras ludes ikan dilaut, meratakan gunung bahkan menggali danau sebagai dampak dari kegiatan penambangan. Meskipun pada kenyataannya kemakmuran yang dicapai hanya akan dinikmati segelintir orang pemilik modal dan kekuasaan. Disinilah istilah keserakahan menjadi lebih cocok. Keadaan ini tentu saja sangat menghawatirkan karena sunnatullah nya tidak demikian. Sesungguhnya manusia diberi tugas mulia menjadi khalifah yang harus mengelola bumi dan segala isinya secara terpelihara. Jadi gaya hidup hijau yang sekarang rajin digembargemborkan kaum environmentalist, kaum yang peduli kelestarian lingkungan itu adalah sunnaltullah. Memanfaatkan semua sumber daya seefisien mungkin adalah keharusan, syukur-syukur semuanya bisa terbarukan. Salah satu statement Allah sebenarnya cukup jelas, manusia tidak boleh lalai dan bermegah-megahan (Attakasur/QS102-1). Messagenya jelas bahwa efisiensi itu it’s a must. Pengembangan teknologi yang ramah lingkungan harus menjadi misi hidup umat manusia. Oleh karena itu tidak ada dikotomi antara agama, science, dan teknologi. Karena untuk menjalankan agama dengan baik, umat manusia perlu dipasok oleh science dan teknologi yang terus berkembang dan dimutahirkan. Kalau misi memelihara bumi ingin dieksekusi dengan sempurna oleh manusia maka science dan teknologi harus terus diulitilasi. Utilisasi science dan teknologi akan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya dan memperbaharui kerusakan yang sudah dibuat generasi terdahulu.
Lalu kenapa harus ada social responsibility? Sumber daya itu selain terbatas dalam jumlah, juga tidak semua orang punya akses untuk memperoleh sumber daya. Seandainya pun seseorang punya akses, tetapi produktivitas manusia pada dasarnya berbeda-beda. Oleh kerena itu, muncullah istilah keserakahan. Orang yang ngotot mendulang kemakmuran dalam lingkungan sosialnya akan dianggap serakah. Sebenarnya, ketika manusia lahir ke dunia, pada dasarnya dia datang dalam posisi yang sama: lemah, tanpa kemampuan, dan tidak punya apa-apa. Tapi ketika waktu bergulir dari tahun ke tahun, kemajuan yang dicapai oleh masing-masing individu berbeda-beda. Ada yang menjadi kuat, mampu, dan kaya. Namun ada juga yang tetap lemah, kurang mampu, dan tetap miskin. Disinilah fungsinya social responsibility. Tanggung jawab sosial adalah elemen penawar bagi keserakahan. Elemen penyeimbang bagi akumulasi sumber daya yang tidak merata menghampiri manusia. Dalam perjalanan hidupnya manusia harus menjalankan fungsi redistributif. Fungsi yang memeratakan kemakmuran sehingga mempu menggantikan istilah keserakahan. Berikanlah bantuan bagi orang-orang yang tidak punya akses pada resources (Almaun/QS107-1,2,3). Dan kita tidak perlu ketakutan kehilangan kemakmuran, karena statement Allah juga cukup jelas bahwa sumber daya itu tidak perlu diakumulasi dan dihitung-hitung (Alhumazah/QS104-2,3). Mari kita menyambut idul adha 1432 H, tunjukkan social responsibility anda… yuks mareee……….